Jumat, 09 Oktober 2015

KLAIM BUDAYA INDONESIA OLEH MALAYSIA


    A.  Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis terletak diantara dua samudera yaitu, samudera Hindia dan samudera Pasifik serta terletak diantara dua benua yaitu, benua Asia dan benua Australia. Secara astronomis Indonesia terletak pada 6° LU-11° LS dan 95° BT- 141° BT, hal ini menyebabkan Indonesia dilalui garis khatulistiwa dan  karena dilalui garis khatulistiwa itulah Indonesia hanya memiliki dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan atau lebih sering disebut beriklim tropis.
Dikarenakan Indonesia memilki iklim yang tropis, hal ini menyebabkan Indonesia merupakan salah satu negara penyokong paru-paru dunia karena memiliki luas hutan terbesar kedua setelah Brazil dan Indonesia adalah negara dengan jumlah spesis flora dan fauna terbesar di dunia. Hutan di Indonesia terdiri atas dua jenis, yakni hutan heterogen yang mayoritas di Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Irian serta hutan homogen yang mayoritas terdapat di Pulau Jawa dan Sulawesi. Dari hutan-hutan inilah Indonesia menjadi penghasil oksigen, hutan-hutan tersebut banyak juga yang belum terjamah oleh manusia. Dapat dibayangkan, ekologi paling kompleks terdapat di dalam hutan-hutan seperti yang sudah kami jelaskan, dari ekologi tersebut Indonesia masih memiliki kekayaan alam biodiversitas yang bahkan masih murni. Tidak hanya kekayaan alamiah saja yang dimiliki negeri ini, tetapi juga kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Negeri yang gemah ripah loh jinawi ini adalah negeri penghasil SDA terbesar di dunia seperti emas, timah, bijih besi, minyak bumi, gas alam, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk SDM di Indonesia tergolong memiliki jumlah yang cukup besar dan berpotensi untuk mengolah SDA dengan SDM milik sendiri. Bahkan beberapa sumber mengatakan bahwa Indonesia adalah Atlantis the lost city.
Dalam studi kasus ini hal yang kami titik beratkan adalah mengenai multikulturalisme di Indonesia. Negeri ini tidak hanya kaya akan SDA dan SDM, tetapi juga kaya akan kebudayaan. Dari Sabang sampai Merauke setiap daerahnya memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dengan ciri khas dan keunikan masing-masing, kekayaan kebudayaan ini disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan sehingga terjadi perbedaan interaksi antar pulau yang satu dengan pulau yang lainnya. Menurut Kluckhohn, unsur-unsur kebudayaan itu sendiri mencakup perlalatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa baik secara lisan maupun tulisan, kesenian seperti seni tari, seni musik, seni suara, dan seni gerak, sistem pengetahuan, dan religi (agama). Dapat ditarik benang merah dari penjelasan di atas bahwa setiap daerah memiliki ciri dan corak tersendiri yang memberikan kekhasan dari setiap daerah dan suku bangsa di Indonesia ini. Meskipun Indonesia memiliki ragam budaya yang amat banyak tetapi kita tetap satu, Bhinneka Tunggal Ika. Tentunya kebudayaan-kebudayaan itulah warisan dari nenek moyang yang perlu dijaga kelestariannya oleh para generasi penerus bangsa. Negara yang memiliki kebudayaan sangat kompleks seperti Indonesia ini tidak hanya mendatangkan turis mancanegara yang berwisata untuk mengagumi keindahan alam dan budaya Indonesia, tetapi juga mendatangkan “masalah”.
Ironisnya, belum lama ini ada satu kasus pengklaiman kebudayaan Indonesia oleh negara tetangga, yaitu Malaysia. Malaysia mengklaim batik, angklung, dan reog sebagai kebudayaan mereka. Tentunya ini menyebabkan renggangnya hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia. Kasus ini bukanlah yang pertama kalinya, karena pada masa Orde Lama pemerintahan Ir. Soekarno Malaysia pun melakukan hal yang sama seperti pengklaiman pulau Sipadan-Ligitan serta Blok Ambalat hingga muncul jargon pertahanan dari Indonesia yaitu “Ganyang Malaysia.
Permasalahan dalam kasus ini adalah respon pemerintah di era reformasi khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau yang baisa disebut SBY yang sangat lamban dalam menangani pengklaiman budaya batik Indonesia oleh Malaysia. Tentunya masyarakat banyak yang bertanya-tanya bagaimana tindakan pemerintah saat budaya Indonesia diklaim oleh negara Malaysia. Terangkatnya kasus ini sampai ke PBB menimbulkan pertanyaan besar seperti: Bagaimana tindakan pemerintah pusat dalam menangani kasus pengklaiman budaya Indonesia oleh Malaysia? Mengapa harus sampai dibaya ke pengadian tinggi PBB? Padahal pada masa Demokrasi Terpimpin kasus serupa juga sudah terjadi hanya perbedaannya, di masa Demokrasi Terpimpin perebutan wilayah dan sekarang di masa Demokrasi Pancasila, perebutan budaya.
Tujuan kami memilih tema ini adalah karena kami ingin meneliti lebih lanjut mengapa pemerintah Indonesia terkesan lamban dalam menanggapi kasus yang menyangkut budaya negeri Indonesia tecinta ini. Alasan lain kami memilih tema ini karena keprihatinan kami terhadap generasi penerus bangsa di era globalisasi sekarang ini yang lebih menggandrungi budaya budaya barat dan Korea dibandingkan budaya sendiri yang memiliki banyak ragamnya. Kecenderungan yang dialami oleh generasi penerus bangsa seperti ini yang perlu diluruskan, karena apabila seluruh generasi penerus bangsa memiliki pola pikir, kesukaan, dan idolisme yang sama maka punahlah satu-persatu budaya Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa media massa dan sosial medai sangat berpengaruh dalam hal ini, tetapi jika kita bisa mengubah pola pikir generasi muda penerus bangsa ini maka kita sudah berjasa demi menjaga persatuan bangsa.

     B.  Analisis

   Tindakan pemerintah yang terkesan lamban dalam menangani kasus ini membuat sejumlah pihak dan masyarakat merasa geram, bagaimana mungkin budaya Indonesia sebagai warisan luhur milik nenek moyang diklaim oleh negara lain yang masih bertetangga dan memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Apalagi hal seperti ini bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia tetapi dalam penanganannya sangat jelas adanya ketimpangan kebijaksanaan antara pemerintahan era Soekarno dengan pemerintahan era SBY.
   Jika melihat sisi positif pemerintahan Soekarno dan ditinjau dari seperti apa tindakan Soekarno saat pengklaiman Sipadan-Ligitan dan Blok Ambalat oleh Malaysia, beliau benar-benar menunjukkan wibawa sebagaimana seharusnya seorang pemimpin dalam melindungi rakyat, bangsa, dan negaranya. Semasa pemerintahannya, beliau bertindak tegas terhadap segala macam pelanggaran kode etik, menjalin hubungan regional maupun internasional yang baik dengan negara-negara tetangga maupun negara yang letaknya jauh dari Indonesia. Selama masa Demokrasi Terpimpin, kebijaksanaan luar negeri Indonesia bergaung keras dan tegar yang mencerminkan tempramen Soekarno dan sifat hingar-bingar politik dalam negeri. Puncaknya adalah sekitar tahun 1960-an melalui jargon politik yang marak saat itu yaitu “Ganyang Malaysia”. Hal tersebut menimbulkan rasa sentimentil pada masyarakat Indonesia terhadap hal apapun yang berbau Malaysia dan hingga akhirnya Soekarno memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
  Malaysia memiliki sebuah peluang untuk berkembang pesat sebagai negara persemakmuran Inggris, pada masa Demokrasi Terpimpin Soekarno menganggap bahwa Malaysia adalah anterk kolonialisme yang harus dijauhkan dengan pola pemikiran yang berhubungan dengan kolonialisme adalah penjajahan, hal tersebut terjadi dikarenakan latar belakang politik dan budaya Indonesia sebagai negara jajahan kolonialisme selama 350 tahun atau tiga setengah abad lamanya yang menyebabkan trauma secara mental. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai tindakan pemerintah dalam kasus klaim budaya ini, kami membahas sedikit apa yang dilakukan oleh Soekarno sebagai referensi dan bahan perbandingan kebijaksanaan yang seharusnya dilakukan oleh SBY. 
   Dalam kasus pengklaiman sepihak Blok Ambalat yang diawali dengan tindakan pemerintah Malaysia yang memberikan izin kepada perusahaan minyak Amerika, Shell untuk melakukan eksplorasi di Blok Ambalat, perairan Karang Unarang, Sulawesi. Malaysia mengklaim bahwa pulau tersebut adalah milik Malaysia, padahal sudah tertera dalam Deklarasi Juanda 1957 bahwa Blok Ambalat adalah milik Indonesia, bukan milik Malaysia dan dalam Deklarasi Juanda 1959 sudah diadopsi oleh PBB dalam Konvensi Hukum Laut, sehingga PBB secara sah juga mengakui bahwa wilayah tersebut adalah milik Indonesia. Tidak mengherankan apabila masyarakat Indonesia khususnya Makasar marah karena pengklaiman itu, bahkan jargon Ganyang Malaysia tidak hanya populer di Sulawesi tetapi juga sampai ke Pulau Jawa dan Sumatera, hal tersebut sebagai upaya rasa dan karsa persatuan sebangsa dan setanah air dalam mempertahankan wilayah yang dimerdekakan dengan darah ini. Mereka meminta tindakan tegas dari pemerintah atas kasus pengklaiman yang terjadi di sekitar wilayah mereka. Secara tersirat melalui kejadian ini, Indonesia tengah mengalami ketegangan hubungan dengan Malaysia; perang dingin.
Soekarno memang melakukan tindakan tegas dengan mengirimkan sekitar tujuh kapal perang ke perairan Karang Unarang, hal ini semata-mata untuk mempertahankan wilayah Indonesia, bukan untuk mengajak Malaysia berperang. Akan tetapi perairan Karang Unarang juga dijaga oleh kapal perang Tentara Laut Diraja Malaysia, yang jika melihat dari Deklarasi Juanda 1959 kapal perang Malaysia telah melanggar garis batas teritorial Indonesia. Menurut Soekarno hal seperti ini sudah tidak dapat ditolerir, maka demi mempertahankan kedaulatan dan kesatuan bangsa Indonesia Soekarno mengambil langkah tegas untuk melakukan perundingan Malaysia. Soekarno dan segenap bangsa Indonesia saat itu tidak menginginkan menggunakan cara kekerasan karena sudah belajar dari pengalaman saat dijajah bahwa penyelesaian masalah dengan cara kekerasan itu tidak membuahkan hasil yang baik tetapi malah merugikan bangsa dan negara karena dapat menyebabkan kehilangan harta dan korban jiwa. Saat perundingan dilaksanakan diketahui bahwa dasar pengklaiman Malaysia terhadap Blok Ambalat adalah karena potensi cadangan minyak dan gas yang dimiliki di wilayah tersebut, hanya atas dasar faktor kepentingan ekonomi dan politik. Jika dikaji dari kasus Sipadan-Ligitan hingga Blok Ambalat, dapat terbaca hal apa saja yang dikejar oleh Malaysia melalui pengklaiman wilayah tersebut. Pulau Sipadan-Ligitan dan Blok Ambalat memilki potensi cadangan minyak dan gas yang besar serta potensi penjualan untuk ekspor yang bagus. Soekarno berpikir kritis karena berdasarkan pengalaman bangsa Indonesia yang menjadi bahan percobaan neokolonialisme oleh Belanda.
     Mengenai neokolonialisme, Soekarno tidak sembarangan memberikan pernyataan. Memang berdasarkan faktanya bahwa Malaysia sudah di bawah pengaruh neokolonialisme Inggris. Dilihat dari lamanya negara merdeka, Indonesia merdeka lebih lama dari Malaysia dan kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan darah para pahlawan, berbeda dengan Malaysia yang memiliki kemerdekaan sebagai hadiah dari Inggris. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah mengklaim wilayah negara tetangga adalah bagian dari ajaran Inggris? Kami pun tidak dapat memberikan jawaban konkret. Tetapi di sini yang memiliki andil besar dalam kasus Sipadan-Ligitan maupun Ambalat adalah Malaysia, bukan Inggris maupun negara persemakmuran lainnya. Setelah kami kaji gaya kepemimpinan Soekarno dalam menghadapi klaim wilayah Indonesia oleh Malaysia seperti di atas, berikut ini kami mengkaji gaya kepemimpinan SBY sebagai presiden Indonesia saat ini yang juga harus turut serta menangani kasus pengklaiman budaya oleh negara yang sama seperti dulu, yaitu Malaysia. Beberapa waktu lalu, seperti mengulang sejarah, Malaysia kembali mengklaim apa yang menjadi hak paten Indonesia. Kali ini yang diklaim adalah kebudayaan Indonesia. Tentu saja ini membuat gempar bangsa Indonesia sebagai pemiliki budaya tersebut, budaya asli yang digali dari warisan luhur nenek moyang diakui oleh bangsa lain sebagai budayanya. Dapat kami katakan bahwa pengklaiman kebudayaan yang dilakukan oleh Malaysia ini tergolong lemah karena sebelum diklaim oleh Malaysia, kebudayaan yang diklaim Malaysia seperti batik tulis, reog Ponorogo, tari Pendet, dan angklung sudah lebih dulu dikenal dunia sebagai budaya asli Indonesia. Akan tetapi yang membuat bangsa Indonesia tidak terima adalah Malaysia menggunakaan hasil klaim dari kebudayaan Indonesia itu untuk promosi pariwisata Indonesia.Tetapi yang membuat bangsa Indonesia kecewa adalah respons dari pemerintah yang lamban dalam menangani kasus ini. Sikap pemerintah seakan-akan cuek atau bahkan tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh Malaysia. Karena dalam beberapa kali wawancaramedia SBY hanya menyampaikan pada masyarakat untuk berupaya bersabar dalam menghadapi kasus ini. Sebenarnya, masyarakat tidak memerlukan kata “sabar”, karena yang dibutuhkan masyarakat adalah kebijaksanaan dan ketegasan sebagai pemimpin yang mencintai rakyat, bangsa, dan negaranya. Karena di era globalisasi dan modernisasi yang sangat berpegaruh terhadap krisis etika dan moral bangsa seperti dewasa ini, perang tidak selalu angkat senjata tetapi bisa melalui sosial media seperti twitter, facebook, dan lain sebagainya. Seperti yang kami pantau terdapat cukup banyak kata-kaa tajam dari masyarakat Indonesia yang menjelek-jelekkan Malaysia begitupun dari akun twitter beberapa orang Malaysia. Jikalau saat itu Bapak Presiden mengungkapkan secara gamblang tindakan apa yang akan diambil oleh pemerintah demi menyelesaikan kasus tersebut maka kami yakin tidak akan berkepanjangan hingga adu kata di sosial media seperti itu. 
Bukan berarti pemerintah tidak melakukan tindakan apapun karena Indonesia juga berlandaskan pada politik hukum nasional, melalui Kementerian Luar Negeri melakukan dialog dengan pihak diplomatik Malaysia mengenai kasus ini. Pihak diplomatik Malaysia mengatakan bahwa ini hanya sebuah kesalahpahaman dan pihak pemerintah Indonesia juga sudah mengirimkan nota dialog kepada pihak diplomatik Malaysia akan tetapi tidak digubris. Kembali, presiden kita hanya meminta masyarakatnya untuk bersabar. Terlihat di sini ada ketidaktegasan dari pemerintah kita. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, jangan pernah mau diinjak-injak oleh bangsa lain.
Manurut kami, apa yang dilakukan Malaysia dengan mengklaim kebudayaan Indonesia adalah bagian dari krisis identitas yang dialami Malaysia dan sebagai upaya mempertahankan eksistensinya maka malaysia mengklaim beberapa budaya milik Indonesia. Menurut kami pula ini tidak sepenuhnya kesalahan Malaysia, ada kesalahan dari bangsa Indonesia sendiri. Kebudayaan yang diklaim oleh Malaysia seperti batik tulis, angklung, dan reog Ponorogo tersebut sudah hampir dilupakan khususnya oleh generasi muda. Sebelum kasus pengklaiman ini terangkat ke media, dapat diperhatikan di sekitar kita bahwa banyak generasi muda yang terlihat seperti ada gengsi tersediri jika mengenakan batik, memainkan angklung, atau bahkan menarikan reog Ponorogo. Generasi muda di Indonesia sudah terlalu terbawa oleh modernisasi dan westernisasi, lebih menyukai yang berbau kebarat-baratan dan Korean mulai dari gaya berpakaian hingga selera seni. Padahal Indonesia adalah salah satu negara dengan kebudayaan seni terkaya di dunia.
Terbukti saat dipimpin dengan gaya kepemimpinan Soekarno yang tergolong ekstrem seperti itu saja kita masih “kecolongan” karena wilayah Indonesia yang begitu luas dan hampir seluruhnya memiliki potensi sumber daya alam, bagaimana dengan pemerintahan yang sekarang ini. Berdasarkan dari beberapa bahan bacaan kami dari media massa, kami menilai SBY tidak tegas dalam menjaga kedaulatan bangsa, memang bagus selalu melakukan diplomasi dalam upaya penyelesaian masalah yang ada di Indonesia akan tetapi tidak ada salahnya sesekali kita angkat senjata hanya sebagai gertakan dan bukti kami segenap bangsa Indonesia bersedia berkorban demi menjaga keutuhan kedaulatan Indonesia. Dalam menangani kasus klaim budaya ini SBY hanya beretorika saja tanpa ada prinsip pembelaan harkat dan martabat bangsa di mata internasional. Berulang kali beliau meminta masyarakatnya untuk bersabar, akan tetapi jika beliau hanya terus beretorika saja tentu dapat memicu konflik internal. Berdasarkan dari yang kami amati, sikap pemimpin utama negeri ini seolah-olah menmpatkan kebijakan di tangan pemerintah bukan di tangan masyarakat. Menempatkan kebijakan di tangan pemerintah di sini diartikan sebagai birokrasi atau pemerintahan yang officialdom (kerajaan pejabat). Seperti yang kita ketahui, pada umumnya negara yang berbentuk kerajaan bersifat ortodoks dan rigid, officialdom atau kerajaan pejabat disamaartikan dengan negara kerajaan (kingdom) karena kebijakan yang menempatkan kebijakan di tangan pemerintah sama saja tidak memeberikan masyarakat kesempatan untuk berpendapatdan menyampaikan aspirasi mereka. Sangat jelas cara kepemimpinan seperti ini tidak tepat diterapkan di Indonesia yang cenderung demokrasi. Tetapi, pada praktiknya pemerintah di Indonesia menerapkan officialdom. Prinsip demokrasi yang paling penting ialah meletakkan kekuasaan di tangan rakyat, bukan di tangan penguasa.
Ketidaktegasan dari pemimpin negeri inilah yang menjadi salah satu penyebab kenapa pengklaiman budaya Indonesia oleh Malaysia terjadi beberapa kali (dapat lebih dari satu kali) dalam satu periode kepemimpinan. Indonesia memerlukan pemimpin yang dapat tegas memimpin Indonesia dan menjaga kedaulatan bangsa dengan segala etika dan moral menuju good governance, bukan hanya beretorika saja. Dengan gaya kepemimpinan yang tidak tegas, secara tidak langsung sudah mempersilahkan bangsa lain untuk melecehkan bangsa ini. Seharusnya kita malu sebagai bangsa yang besar berkedaulatan adil dan makmur ditindas oleh bangsa yang ‘kecil’. Apa dapat dibilang kita sudah merdeka? Belum. Bangsa ini belum merdeka, belum merdeka dari rasa anti-nasionalisme yang terjadi dalam era ini. Kami membaca sebuah berita online dari internet tentang tanggapan Wakil Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Indonesia mengenai salah satu budaya Indonesia yang diklaim oleh Malaysia, Tari Tor-Tor berasal dari Mandailing, Sumatera Utara.

    C.  Kesimpulan

      Pemerintahan Indonesia yang kurang tegas dalam menangani kasus ini sehingga secara tidak langsung sudah menjatuhkan nama baik serta harkat martabat bangsa Indonesia di mata dunia internasional. Bangsa Indonesia memerlukan pemerintah yang tegas serta berwibawa dalam menangani setiap kasus seperti kasus pengklaiman seperti yang dilakukan oleh Malaysia karena budaya Indonesia merupakan bagian dari identitas serta jatidiri bangsa. Jangan sampai identitas bangsa diinjak-injak oleh bangsa lain.
      Sebagai contoh lain, pemerintah Indonesia juga lamban tidak hanya  menangani kasus klaim budaya oleh Malaysia ini tetapi juga dalam menangani bencana-bencana yang terjadi di Indonesia. Jika ditanyakan langsung kepada mayarakat mengenai apa pendapat mereka tentang pemerintah Indonesia khususnya selama pemerintahan SBY yang sudah berlangsung selama hampir satu dekade atau dua periode pemerintahan, maka masyarakat juga cenderung mengatakan yang sejujurnya seperti: kemajuan apa yang terjadi di Indonesia selama pemerintahan SBY? Bukankah malah terjadi banyak bencana alam? Memang untuk bencana alam ini kita tidak dapat menyalahkan pemerintah karena sudah menjadi kehendak Tuhan dan alam, tetapi yang kami garisbawahi di sini adalah tindakan pemerintah yang seharusnya cepat dalam menangani kasus bencana alam karena bersangkutan dengan nyawa manusia tetapi malah masih lambat menanganinya. Bantuan langsung dari uar negeri seperti logistik ataupun pakaian kebanyakan tidak langsung didistribusikan kepada masyarakat. Hal tersebut menimbulkan berbagai macam pertanyaan tentang mengapa pemerintah lambat dalam mendistribusikan bantuan?
    Perlu kita sadari bahwa Indonesia adalah bangsa multikulturalisme, apabila tanpa kerjasama ataupun kesadaran bersama demi mempertahankan tanah air bangsa maka apa yang akan terjadi pada bangsa ini di masa yang akan datang? Kami juga tidak mampu mereka-reka tetapi dapat diperkirakan perpecahan bangsalah yang akan terjadi dan semakin maraknya juga pengklaiman budaya.
      Dari permasalahan ini kami menyarankan bahwa masyarakat dan pemerintah Indonesia harus menjaga dan melestarikan kebudayaan yang ada di Indonesia. Sebenernya pengklaiman yang dilakukan oleh Negara Malaysia juga disebabkan karena adanya peluang yang diberikan Indonesia. Masyarakat dan pemerintah selama ini dianggap kurang peduli dan kurang memperhatikan kebudayaan negaranya. Masyarakat indoenesia terlihat seperti terpengaruh oleh negara luar sehingga tidak memperhatikan ciri khas dari kebudayaan negaranya sendiri. Begitu pula dengan pemerintahnya yang terlalu terfokuskan akan masalah kerjasama internasional. Jika pemerintah tidak melihat budaya sebagai sebuah kekuatan bagi bangsa atau daerahnya sendiri maka tidak heran suatu saat kebudayaan tersebut akan diklaim menjadi milik Negara lain. 
      Pemerintah Indonesia tidak boleh lagi menutup matanya dan diam saja melihat kebudayaannya diakui oleh Negara lain. Saran lain dari kami adalah pemerintah Indonesia perlu mengintenskan hubungan diplomatik sebagai komunikasi politik dengan Malaysia untuk membahas masalah kebudayaan ini agar tidak ada lagi kesalahpahaman dan konflik antara Indonesia dan Malaysia yang berada dalam satu regional Asia Tenggara dan ASEAN ini.


   D.  Sumber




Manajemen Pemasaran Global Tentang E-Marketing

BAB I PENDAHULUAN 1.1             Latar Belakang Perkembangan teknologi informasi yang pesat turut mempengaruhi dunia bisnis...