A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan
yang secara geografis terletak diantara dua samudera yaitu, samudera Hindia dan
samudera Pasifik serta terletak diantara dua benua yaitu, benua Asia dan benua
Australia. Secara astronomis Indonesia terletak pada 6° LU-11° LS dan 95° BT-
141° BT, hal ini menyebabkan Indonesia dilalui garis khatulistiwa dan
karena dilalui garis khatulistiwa itulah Indonesia hanya memiliki dua musim,
yaitu musim kemarau dan musim penghujan atau lebih sering disebut beriklim
tropis.
Dikarenakan Indonesia memilki iklim
yang tropis, hal ini menyebabkan Indonesia merupakan salah satu negara
penyokong paru-paru dunia karena memiliki luas hutan terbesar kedua setelah
Brazil dan Indonesia adalah negara dengan jumlah spesis flora dan fauna
terbesar di dunia. Hutan di Indonesia terdiri atas dua jenis, yakni hutan
heterogen yang mayoritas di Pulau Kalimantan, Sumatera, dan Irian serta hutan
homogen yang mayoritas terdapat di Pulau Jawa dan Sulawesi. Dari hutan-hutan
inilah Indonesia menjadi penghasil oksigen, hutan-hutan tersebut banyak juga
yang belum terjamah oleh manusia. Dapat dibayangkan, ekologi paling kompleks
terdapat di dalam hutan-hutan seperti yang sudah kami jelaskan, dari ekologi
tersebut Indonesia masih memiliki kekayaan alam biodiversitas yang bahkan masih
murni. Tidak hanya kekayaan alamiah saja yang dimiliki negeri ini, tetapi juga
kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM). Negeri yang
gemah ripah loh jinawi ini adalah negeri penghasil SDA terbesar di dunia
seperti emas, timah, bijih besi, minyak bumi, gas alam, dan lain sebagainya.
Sedangkan untuk SDM di Indonesia tergolong memiliki jumlah yang cukup besar dan
berpotensi untuk mengolah SDA dengan SDM milik sendiri. Bahkan beberapa sumber
mengatakan bahwa Indonesia adalah Atlantis the lost city.
Dalam studi kasus ini hal yang kami
titik beratkan adalah mengenai multikulturalisme di Indonesia. Negeri ini tidak
hanya kaya akan SDA dan SDM, tetapi juga kaya akan kebudayaan. Dari Sabang
sampai Merauke setiap daerahnya memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dengan
ciri khas dan keunikan masing-masing, kekayaan kebudayaan ini disebabkan oleh
kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan sehingga terjadi perbedaan
interaksi antar pulau yang satu dengan pulau yang lainnya. Menurut Kluckhohn,
unsur-unsur kebudayaan itu sendiri mencakup perlalatan dan perlengkapan hidup,
mata pencaharian dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa baik secara
lisan maupun tulisan, kesenian seperti seni tari, seni musik, seni suara, dan
seni gerak, sistem pengetahuan, dan religi (agama). Dapat ditarik benang merah
dari penjelasan di atas bahwa setiap daerah memiliki ciri dan corak tersendiri
yang memberikan kekhasan dari setiap daerah dan suku bangsa di Indonesia ini.
Meskipun Indonesia memiliki ragam budaya yang amat banyak tetapi kita tetap
satu, Bhinneka Tunggal Ika. Tentunya kebudayaan-kebudayaan itulah warisan dari
nenek moyang yang perlu dijaga kelestariannya oleh para generasi penerus
bangsa. Negara yang memiliki kebudayaan sangat kompleks seperti Indonesia ini
tidak hanya mendatangkan turis mancanegara yang berwisata untuk mengagumi
keindahan alam dan budaya Indonesia, tetapi juga mendatangkan “masalah”.
Ironisnya, belum lama ini ada satu
kasus pengklaiman kebudayaan Indonesia oleh negara tetangga, yaitu Malaysia.
Malaysia mengklaim batik, angklung, dan reog sebagai kebudayaan mereka.
Tentunya ini menyebabkan renggangnya hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia.
Kasus ini bukanlah yang pertama kalinya, karena pada masa Orde Lama
pemerintahan Ir. Soekarno Malaysia pun melakukan hal yang sama seperti
pengklaiman pulau Sipadan-Ligitan serta Blok Ambalat hingga muncul jargon
pertahanan dari Indonesia yaitu “Ganyang Malaysia.
Permasalahan dalam kasus ini adalah
respon pemerintah di era reformasi khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
atau yang baisa disebut SBY yang sangat lamban dalam menangani pengklaiman
budaya batik Indonesia oleh Malaysia. Tentunya masyarakat banyak yang bertanya-tanya
bagaimana tindakan pemerintah saat budaya Indonesia diklaim oleh negara
Malaysia. Terangkatnya kasus ini sampai ke PBB menimbulkan pertanyaan besar
seperti: Bagaimana tindakan pemerintah pusat dalam menangani kasus pengklaiman
budaya Indonesia oleh Malaysia? Mengapa harus sampai dibaya ke pengadian tinggi
PBB? Padahal pada masa Demokrasi Terpimpin kasus serupa juga sudah terjadi
hanya perbedaannya, di masa Demokrasi Terpimpin perebutan wilayah dan sekarang
di masa Demokrasi Pancasila, perebutan budaya.
Tujuan kami memilih tema ini adalah
karena kami ingin meneliti lebih lanjut mengapa pemerintah Indonesia terkesan
lamban dalam menanggapi kasus yang menyangkut budaya negeri Indonesia tecinta
ini. Alasan lain kami memilih tema ini karena keprihatinan kami terhadap
generasi penerus bangsa di era globalisasi sekarang ini yang lebih
menggandrungi budaya budaya barat dan Korea dibandingkan budaya sendiri yang
memiliki banyak ragamnya. Kecenderungan yang dialami oleh generasi penerus
bangsa seperti ini yang perlu diluruskan, karena apabila seluruh generasi
penerus bangsa memiliki pola pikir, kesukaan, dan idolisme yang sama maka
punahlah satu-persatu budaya Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa media
massa dan sosial medai sangat berpengaruh dalam hal ini, tetapi jika kita bisa
mengubah pola pikir generasi muda penerus bangsa ini maka kita sudah berjasa
demi menjaga persatuan bangsa.
B. Analisis
Tindakan pemerintah yang terkesan lamban dalam menangani
kasus ini membuat sejumlah pihak dan masyarakat merasa geram, bagaimana mungkin
budaya Indonesia sebagai warisan luhur milik nenek moyang diklaim oleh negara
lain yang masih bertetangga dan memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia.
Apalagi hal seperti ini bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia tetapi dalam
penanganannya sangat jelas adanya ketimpangan kebijaksanaan antara pemerintahan
era Soekarno dengan pemerintahan era SBY.
Jika melihat sisi positif pemerintahan Soekarno dan ditinjau dari seperti apa
tindakan Soekarno saat pengklaiman Sipadan-Ligitan dan Blok Ambalat oleh
Malaysia, beliau benar-benar menunjukkan wibawa sebagaimana seharusnya seorang
pemimpin dalam melindungi rakyat, bangsa, dan negaranya. Semasa
pemerintahannya, beliau bertindak tegas terhadap segala macam pelanggaran kode
etik, menjalin hubungan regional maupun internasional yang baik dengan
negara-negara tetangga maupun negara yang letaknya jauh dari Indonesia. Selama
masa Demokrasi Terpimpin, kebijaksanaan luar negeri Indonesia bergaung keras
dan tegar yang mencerminkan tempramen Soekarno dan sifat hingar-bingar politik
dalam negeri. Puncaknya adalah sekitar tahun 1960-an melalui jargon politik
yang marak saat itu yaitu “Ganyang Malaysia”. Hal tersebut menimbulkan rasa
sentimentil pada masyarakat Indonesia terhadap hal apapun yang berbau Malaysia
dan hingga akhirnya Soekarno memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Malaysia memiliki sebuah peluang untuk berkembang pesat sebagai negara
persemakmuran Inggris, pada masa Demokrasi Terpimpin Soekarno menganggap bahwa
Malaysia adalah anterk kolonialisme yang harus dijauhkan dengan pola pemikiran
yang berhubungan dengan kolonialisme adalah penjajahan, hal tersebut terjadi
dikarenakan latar belakang politik dan budaya Indonesia sebagai negara jajahan
kolonialisme selama 350 tahun atau tiga setengah abad lamanya yang menyebabkan
trauma secara mental. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai tindakan
pemerintah dalam kasus klaim budaya ini, kami membahas sedikit apa yang
dilakukan oleh Soekarno sebagai referensi dan bahan perbandingan kebijaksanaan
yang seharusnya dilakukan oleh SBY.
Dalam kasus pengklaiman sepihak Blok
Ambalat yang diawali dengan tindakan pemerintah Malaysia yang memberikan izin
kepada perusahaan minyak Amerika, Shell untuk melakukan eksplorasi di Blok
Ambalat, perairan Karang Unarang, Sulawesi. Malaysia mengklaim bahwa pulau
tersebut adalah milik Malaysia, padahal sudah tertera dalam Deklarasi Juanda
1957 bahwa Blok Ambalat adalah milik Indonesia, bukan milik Malaysia dan dalam
Deklarasi Juanda 1959 sudah diadopsi oleh PBB dalam Konvensi Hukum Laut,
sehingga PBB secara sah juga mengakui bahwa wilayah tersebut adalah milik
Indonesia. Tidak mengherankan apabila masyarakat Indonesia khususnya Makasar
marah karena pengklaiman itu, bahkan jargon Ganyang Malaysia tidak hanya
populer di Sulawesi tetapi juga sampai ke Pulau Jawa dan Sumatera, hal tersebut
sebagai upaya rasa dan karsa persatuan sebangsa dan setanah air dalam
mempertahankan wilayah yang dimerdekakan dengan darah ini. Mereka meminta
tindakan tegas dari pemerintah atas kasus pengklaiman yang terjadi di sekitar
wilayah mereka. Secara tersirat melalui kejadian ini, Indonesia tengah
mengalami ketegangan hubungan dengan Malaysia; perang dingin.
Soekarno memang melakukan tindakan
tegas dengan mengirimkan sekitar tujuh kapal perang ke perairan Karang Unarang,
hal ini semata-mata untuk mempertahankan wilayah Indonesia, bukan untuk
mengajak Malaysia berperang. Akan tetapi perairan Karang Unarang juga dijaga
oleh kapal perang Tentara Laut Diraja Malaysia, yang jika melihat dari
Deklarasi Juanda 1959 kapal perang Malaysia telah melanggar garis batas
teritorial Indonesia. Menurut Soekarno hal seperti ini sudah tidak dapat
ditolerir, maka demi mempertahankan kedaulatan dan kesatuan bangsa Indonesia
Soekarno mengambil langkah tegas untuk melakukan perundingan Malaysia.
Soekarno dan segenap bangsa Indonesia saat itu tidak menginginkan menggunakan
cara kekerasan karena sudah belajar dari pengalaman saat dijajah bahwa
penyelesaian masalah dengan cara kekerasan itu tidak membuahkan hasil yang baik
tetapi malah merugikan bangsa dan negara karena dapat menyebabkan kehilangan
harta dan korban jiwa. Saat perundingan dilaksanakan diketahui bahwa dasar
pengklaiman Malaysia terhadap Blok Ambalat adalah karena potensi cadangan
minyak dan gas yang dimiliki di wilayah tersebut, hanya atas dasar faktor
kepentingan ekonomi dan politik. Jika dikaji dari kasus Sipadan-Ligitan hingga
Blok Ambalat, dapat terbaca hal apa saja yang dikejar oleh Malaysia melalui
pengklaiman wilayah tersebut. Pulau Sipadan-Ligitan dan Blok Ambalat memilki
potensi cadangan minyak dan gas yang besar serta potensi penjualan untuk ekspor
yang bagus. Soekarno berpikir kritis karena berdasarkan pengalaman bangsa
Indonesia yang menjadi bahan percobaan neokolonialisme oleh Belanda.
Mengenai neokolonialisme, Soekarno
tidak sembarangan memberikan pernyataan. Memang berdasarkan faktanya bahwa
Malaysia sudah di bawah pengaruh neokolonialisme Inggris. Dilihat dari lamanya
negara merdeka, Indonesia merdeka lebih lama dari Malaysia dan kemerdekaan
Indonesia adalah hasil perjuangan darah para pahlawan, berbeda dengan Malaysia
yang memiliki kemerdekaan sebagai hadiah dari Inggris. Yang menjadi pertanyaan
adalah, apakah mengklaim wilayah negara tetangga adalah bagian dari ajaran
Inggris? Kami pun tidak dapat memberikan jawaban konkret. Tetapi di sini yang
memiliki andil besar dalam kasus Sipadan-Ligitan maupun Ambalat adalah
Malaysia, bukan Inggris maupun negara persemakmuran lainnya. Setelah kami kaji gaya kepemimpinan
Soekarno dalam menghadapi klaim wilayah Indonesia oleh Malaysia seperti di
atas, berikut ini kami mengkaji gaya kepemimpinan SBY sebagai presiden
Indonesia saat ini yang juga harus turut serta menangani kasus pengklaiman
budaya oleh negara yang sama seperti dulu, yaitu Malaysia. Beberapa waktu lalu, seperti
mengulang sejarah, Malaysia kembali mengklaim apa yang menjadi hak paten
Indonesia. Kali ini yang diklaim adalah kebudayaan Indonesia. Tentu saja ini
membuat gempar bangsa Indonesia sebagai pemiliki budaya tersebut, budaya asli
yang digali dari warisan luhur nenek moyang diakui oleh bangsa lain sebagai
budayanya. Dapat kami katakan bahwa pengklaiman kebudayaan yang dilakukan oleh
Malaysia ini tergolong lemah karena sebelum diklaim oleh Malaysia, kebudayaan
yang diklaim Malaysia seperti batik tulis, reog Ponorogo, tari Pendet, dan
angklung sudah lebih dulu dikenal dunia sebagai budaya asli Indonesia. Akan
tetapi yang membuat bangsa Indonesia tidak terima adalah Malaysia menggunakaan
hasil klaim dari kebudayaan Indonesia itu untuk promosi pariwisata Indonesia.Tetapi yang membuat bangsa Indonesia
kecewa adalah respons dari pemerintah yang lamban dalam menangani kasus ini.
Sikap pemerintah seakan-akan cuek atau bahkan tidak peduli dengan apa
yang dilakukan oleh Malaysia. Karena dalam beberapa kali wawancaramedia SBY
hanya menyampaikan pada masyarakat untuk berupaya bersabar dalam menghadapi
kasus ini. Sebenarnya, masyarakat tidak memerlukan kata “sabar”, karena yang
dibutuhkan masyarakat adalah kebijaksanaan dan ketegasan sebagai pemimpin yang
mencintai rakyat, bangsa, dan negaranya. Karena di era globalisasi dan
modernisasi yang sangat berpegaruh terhadap krisis etika dan moral bangsa
seperti dewasa ini, perang tidak selalu angkat senjata tetapi bisa melalui
sosial media seperti twitter, facebook, dan lain sebagainya. Seperti yang kami
pantau terdapat cukup banyak kata-kaa tajam dari masyarakat Indonesia yang
menjelek-jelekkan Malaysia begitupun dari akun twitter beberapa orang Malaysia.
Jikalau saat itu Bapak Presiden mengungkapkan secara gamblang tindakan apa yang
akan diambil oleh pemerintah demi menyelesaikan kasus tersebut maka kami yakin
tidak akan berkepanjangan hingga adu kata di sosial media seperti itu.
Bukan berarti pemerintah tidak melakukan
tindakan apapun karena Indonesia juga berlandaskan pada politik hukum nasional,
melalui Kementerian Luar Negeri melakukan dialog dengan pihak diplomatik
Malaysia mengenai kasus ini. Pihak diplomatik Malaysia mengatakan bahwa ini
hanya sebuah kesalahpahaman dan pihak pemerintah Indonesia juga sudah
mengirimkan nota dialog kepada pihak diplomatik Malaysia akan tetapi tidak
digubris. Kembali, presiden kita hanya meminta masyarakatnya untuk bersabar.
Terlihat di sini ada ketidaktegasan dari pemerintah kita. Bangsa Indonesia
adalah bangsa yang besar, jangan pernah mau diinjak-injak oleh bangsa lain.
Manurut kami, apa yang dilakukan
Malaysia dengan mengklaim kebudayaan Indonesia adalah bagian dari krisis
identitas yang dialami Malaysia dan sebagai upaya mempertahankan eksistensinya
maka malaysia mengklaim beberapa budaya milik Indonesia. Menurut kami pula ini
tidak sepenuhnya kesalahan Malaysia, ada kesalahan dari bangsa Indonesia
sendiri. Kebudayaan yang diklaim oleh Malaysia seperti batik tulis, angklung,
dan reog Ponorogo tersebut sudah hampir dilupakan khususnya oleh generasi muda.
Sebelum kasus pengklaiman ini terangkat ke media, dapat diperhatikan di sekitar
kita bahwa banyak generasi muda yang terlihat seperti ada gengsi tersediri jika
mengenakan batik, memainkan angklung, atau bahkan menarikan reog Ponorogo.
Generasi muda di Indonesia sudah terlalu terbawa oleh modernisasi dan
westernisasi, lebih menyukai yang berbau kebarat-baratan dan Korean mulai dari
gaya berpakaian hingga selera seni. Padahal Indonesia adalah salah satu negara
dengan kebudayaan seni terkaya di dunia.
Terbukti saat dipimpin dengan gaya
kepemimpinan Soekarno yang tergolong ekstrem seperti itu saja kita masih
“kecolongan” karena wilayah Indonesia yang begitu luas dan hampir seluruhnya
memiliki potensi sumber daya alam, bagaimana dengan pemerintahan yang sekarang
ini. Berdasarkan dari beberapa bahan bacaan kami dari media massa, kami menilai
SBY tidak tegas dalam menjaga kedaulatan bangsa, memang bagus selalu melakukan
diplomasi dalam upaya penyelesaian masalah yang ada di Indonesia akan tetapi
tidak ada salahnya sesekali kita angkat senjata hanya sebagai gertakan dan
bukti kami segenap bangsa Indonesia bersedia berkorban demi menjaga keutuhan
kedaulatan Indonesia. Dalam menangani kasus klaim budaya ini SBY hanya
beretorika saja tanpa ada prinsip pembelaan harkat dan martabat bangsa di mata
internasional. Berulang kali beliau meminta masyarakatnya untuk bersabar, akan
tetapi jika beliau hanya terus beretorika saja tentu dapat memicu konflik
internal. Berdasarkan dari yang kami amati, sikap pemimpin utama negeri ini
seolah-olah menmpatkan kebijakan di tangan pemerintah bukan di tangan
masyarakat. Menempatkan kebijakan di tangan pemerintah di sini diartikan
sebagai birokrasi atau pemerintahan yang officialdom (kerajaan pejabat).
Seperti yang kita ketahui, pada umumnya negara yang berbentuk kerajaan bersifat
ortodoks dan rigid, officialdom atau kerajaan pejabat disamaartikan
dengan negara kerajaan (kingdom) karena kebijakan yang menempatkan
kebijakan di tangan pemerintah sama saja tidak memeberikan masyarakat
kesempatan untuk berpendapatdan menyampaikan aspirasi mereka. Sangat jelas cara
kepemimpinan seperti ini tidak tepat diterapkan di Indonesia yang cenderung
demokrasi. Tetapi, pada praktiknya pemerintah di Indonesia menerapkan officialdom.
Prinsip demokrasi yang paling penting ialah meletakkan kekuasaan di tangan
rakyat, bukan di tangan penguasa.
Ketidaktegasan dari pemimpin negeri
inilah yang menjadi salah satu penyebab kenapa pengklaiman budaya Indonesia
oleh Malaysia terjadi beberapa kali (dapat lebih dari satu kali) dalam satu
periode kepemimpinan. Indonesia memerlukan pemimpin yang dapat tegas memimpin
Indonesia dan menjaga kedaulatan bangsa dengan segala etika dan moral menuju good
governance, bukan hanya beretorika saja. Dengan gaya kepemimpinan yang
tidak tegas, secara tidak langsung sudah mempersilahkan bangsa lain untuk
melecehkan bangsa ini. Seharusnya kita malu sebagai bangsa yang besar berkedaulatan
adil dan makmur ditindas oleh bangsa yang ‘kecil’. Apa dapat dibilang kita
sudah merdeka? Belum. Bangsa ini belum merdeka, belum merdeka dari rasa
anti-nasionalisme yang terjadi dalam era ini. Kami membaca sebuah berita online
dari internet tentang tanggapan Wakil Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan
Indonesia mengenai salah satu budaya Indonesia yang diklaim oleh Malaysia, Tari
Tor-Tor berasal dari Mandailing, Sumatera Utara.
C. Kesimpulan
Pemerintahan
Indonesia yang kurang tegas dalam menangani kasus ini sehingga secara tidak
langsung sudah menjatuhkan nama baik serta harkat martabat bangsa Indonesia di
mata dunia internasional. Bangsa Indonesia memerlukan pemerintah yang tegas
serta berwibawa dalam menangani setiap kasus seperti kasus pengklaiman seperti
yang dilakukan oleh Malaysia karena budaya Indonesia merupakan bagian dari
identitas serta jatidiri bangsa. Jangan sampai identitas bangsa diinjak-injak
oleh bangsa lain.
Sebagai contoh lain, pemerintah
Indonesia juga lamban tidak hanya menangani kasus klaim budaya oleh
Malaysia ini tetapi juga dalam menangani bencana-bencana yang terjadi di
Indonesia. Jika ditanyakan langsung kepada mayarakat mengenai apa pendapat
mereka tentang pemerintah Indonesia khususnya selama pemerintahan SBY yang
sudah berlangsung selama hampir satu dekade atau dua periode pemerintahan, maka
masyarakat juga cenderung mengatakan yang sejujurnya seperti: kemajuan apa yang
terjadi di Indonesia selama pemerintahan SBY? Bukankah malah terjadi banyak
bencana alam? Memang untuk bencana alam ini kita tidak dapat menyalahkan
pemerintah karena sudah menjadi kehendak Tuhan dan alam, tetapi yang kami
garisbawahi di sini adalah tindakan pemerintah yang seharusnya cepat dalam
menangani kasus bencana alam karena bersangkutan dengan nyawa manusia tetapi
malah masih lambat menanganinya. Bantuan langsung dari uar negeri seperti
logistik ataupun pakaian kebanyakan tidak langsung didistribusikan kepada
masyarakat. Hal tersebut menimbulkan berbagai macam pertanyaan tentang mengapa
pemerintah lambat dalam mendistribusikan bantuan?
Perlu kita sadari bahwa Indonesia adalah bangsa multikulturalisme,
apabila tanpa kerjasama ataupun kesadaran bersama demi mempertahankan tanah air
bangsa maka apa yang akan terjadi pada bangsa ini di masa yang akan datang?
Kami juga tidak mampu mereka-reka tetapi dapat diperkirakan perpecahan
bangsalah yang akan terjadi dan semakin maraknya juga pengklaiman budaya.
Dari permasalahan ini kami
menyarankan bahwa masyarakat dan pemerintah Indonesia harus menjaga dan
melestarikan kebudayaan yang ada di Indonesia. Sebenernya pengklaiman yang
dilakukan oleh Negara Malaysia juga disebabkan karena adanya peluang yang
diberikan Indonesia. Masyarakat dan pemerintah selama ini dianggap kurang
peduli dan kurang memperhatikan kebudayaan negaranya. Masyarakat indoenesia
terlihat seperti terpengaruh oleh negara luar sehingga tidak memperhatikan ciri
khas dari kebudayaan negaranya sendiri. Begitu pula dengan pemerintahnya yang
terlalu terfokuskan akan masalah kerjasama internasional. Jika pemerintah tidak
melihat budaya sebagai sebuah kekuatan bagi bangsa atau daerahnya sendiri maka
tidak heran suatu saat kebudayaan tersebut akan diklaim menjadi milik Negara
lain. Pemerintah Indonesia tidak boleh lagi menutup matanya dan diam saja melihat kebudayaannya diakui oleh Negara lain. Saran lain dari kami adalah pemerintah Indonesia perlu mengintenskan hubungan diplomatik sebagai komunikasi politik dengan Malaysia untuk membahas masalah kebudayaan ini agar tidak ada lagi kesalahpahaman dan konflik antara Indonesia dan Malaysia yang berada dalam satu regional Asia Tenggara dan ASEAN ini.
D.
Sumber
http://www.tempo.co/read/news/2012/06/20/173411887/Lima-Tanggapan-Pemerintah-Soal-Klaim-Tari-Tor-Tor